BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam menyelesaikan sebuah perkara perdata maupun pidana,
pihak yang bertugas menyelesaikan sengketa haruslah melakukan pembuktian untuk
menerangi dan menjelaskan secara jelas tentang duduk perkaranya. Pembuktian ini baru ada apabila
terjadi bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui peradilan.
Selisih kepentingan dari para pihak, penggugat
dan tergugat. kepentingan yang diselesaikan melalui persidangan itulah yang
kemudian disebut perkara. Perkara yang diajukan ke pengadilan.[1]
Pembuktian merupakan cara untuk menunjukkan kejelasan perkara kepada Hakim
supaya dapat dinilai apakah masalah yang dialami penggugat atau korban dapat
ditindak secara hukum. Oleh karenanya, pembuktian merupakan prosedur yang harus
dijalani karena merupakan hal penting dalam menerapkan hukum materil.
Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 B.W. bahwa “Barang
siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak,
diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa
yang mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan
juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.” Misalnya, jika seorang menggugat
orang lain supaya orang ini dihukum menyerahkan sebidang tanah, karena benda
ini termasuk harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh
tergugat, maka orang yang menggugat itu diwajibkan membuktikan bahwa ia adalah
ahliwaris dari si meninggal dan tanah tersebut betul kepunyaan si meninggal
itu. Jika ia telah berhasil membuktikan hal-hal tersebut dan pihak tergugat
masih juga membantah haknya karena katanya ia telah membeli tanah tersebut
secara sah, maka tergugat ini diwajibkan membuktikan adanya jual beli itu.[2]
Oleh sebab itu, pihak yang berperkara haruslah
memberikan bukti yang kuat sesuai dengan masalah yang ada apakah perkara yang
dialami. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat,
beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak
ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan
sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Begitu
pentingnya sebuah pembukian maka dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
pembuktian dan macam-macam alat bukti.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.
Apa definisi dari pembuktian?
2.
Apa saja macam-macam alat bukti?
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas,
maka dapat dirumuskan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut :
1.
Mendeskripsikan tentang pembuktian.
2.
Mendeskripsikan tentang macam-macam
alat bukti.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian
Secara etimologi pembuktian berarti
proses/cara, perbuatan membuktikan atau usaha menunjukkan benar atau salahnya
si terdakwa dalam sidang pengadilan.
Para ahli hukum memiliki perbedaan
pendapat tentang pembuktian ini, sebagaimana yang dikemukan para ahli sebagai
berikut :
Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum
perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa soal pembuktian ini lebih
tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) yang
pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Akan tetapi
memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum
acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian,
termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga
dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat
ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan.
Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R.,
yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.[3]
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
S.H., guru besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dalam bukunya Hukum Acara
Perdata Indonesia mengandung beberapa pengertian:
1.
Membuktikan dalam arti logis atau
ilmiah
Membuktikan
berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan.
2.
Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan
berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai
tingkatan-tingkatan:
a) kepastian
yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
b) kepastian
yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
3.
Membuktikan dalam hukum acara mempunyai
arti yuridis
Didalam
ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang
berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian
dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara
atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis
tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan,
kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal
ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak
lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah
terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang
ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis
mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis
tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara
pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak
pidana (Presumption of Innocence), kecuali apabila berdasarkan
buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.
Dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya
keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan
berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang
siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum
acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Kesamaan
ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti memberi motivasi
mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada pengalaman dan
pengamatan.[4]
Dengan demikian, yang
dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan[5]
Hal ini diperkuat dengan perintah hukum yang termaktub dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya yang diatur
dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang
yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib
membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
Terdapat 3 (tiga) buah teori bagi
hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak :
1. Teori
pembuktian bebas
Teori ini
menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat
bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya
ikatan-ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin.
Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk
bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan
keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.[6]
2. Teori pembuktian negatif
Teori ini
menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif.
Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. (Pasal
306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata).[7]
Pasal 306
RBg/169 HIR : “ Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat
bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum. “
Pasal 1905
KUHPerdata : “ Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain,
di muka pengadilan tidak boleh dipercaya. “
3. Teori
pembuktian positif
Disamping
adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini
hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. (Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870
KUHPerdata).[8]
Pasal 285
RBg/165 HIR : “ Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut
ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk
membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli
warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal
yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat
itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya
sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam
akta tersebut. “
Pasal 1870
KUHPerdata : “ Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta
ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu
bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. “
B. Macam-macam
Alat Bukti
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara
Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal
berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan
penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di
dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan
kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka
kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang
berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti
tertentu saja.[9]
Alat bukti yang diakui dalam acara perdata
diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR adalah sebagai berikut:[10]
1.
Tulisan/Surat
2.
Saksi-saksi
3.
Persangkaan
4.
Pengakuan
5. Sumpah
Penjelasan mengenai alat bukti Hukum Acara Perdata yang
tercantum dalam Pasal 1866 B.W., sebagai berikut:
1.
Alat Bukti Tertulis (Surat)
Dalam
hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164
RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal
167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai
pengertian alat bukti tulisan, antara lain:
a. Menurut A.
Pitlo,
“ alat
pembuktian dengan bentuk tertulis yang disebut dengan surat adalah pembawa
tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran. “[11]
b. Menurut Sudikno
Mertokusumo,
“ alat bukti
tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. “[12]
c. Menurut
H. Riduan Syahrani,
“ alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang dapat dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.
“[13]
Dari beberapa pengertian di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa alat bukti tulisan adalah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang
membuatnya. Maka surat yang dijadikan alat pembuktian ditekankan pada adanya
tanda-tanda bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jadi, walaupun ada sesuatu
benda yang memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak menyatakan buah pikiran
atau isi hati, maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat bukti tertulis
atau surat.
Alat pembuktian tertulis dapat
dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan
lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian,
alat bukti tulisan terdiri dari :
1) Akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan
sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh
pembuatnya.
a) Akta otentik
Pasal 285
RBg/165 HIR menyebutkan bahwa : “akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat
menurut ketentuan undang- undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa
untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan
ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala
hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam
surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya
sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam
akta tersebut. “
b) Akta di bawah
tangan
Pasal 286 ayat
(1) RBg, dinyatakan : “dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat,
daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat
dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. “
2)
Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan
yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak
ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan
akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak
dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.
2.
Alat Bukti Saksi
Pembuktian
dengan saksi diatur dalam Pasal 306 RBg/169 HIR dan Pasal 1905 KUHPerdata. Kesaksian adalah
kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[14]
Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah
ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir
tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Penerapan
pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian
dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh
undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang
dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa
hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat
diterapkan.
Syarat-syarat
alat bukti saksi adalah sebagai berikut:[15]
a)
Orang yang Cakap
b)
Keterangan Disampaikan di Sidang
Pengadilan
c)
Diperiksa Satu Persatu
d)
Mengucapkan Sumpah
e)
Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat
Bukti
f)
Keterangan Berdasarkan Alasan dan
Sumber Pengetahuan
g)
Saling Persesuaian
3.
Bukti Persangkaan
Alat
bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR. Persangkaan adalah kesimpulan yang
ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang
dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Jika yang menarik
kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan tersebut dinamakan
persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan tersebut
undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.[16]
Persangkaan
dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut :
a)
Persangkaan Undang-undang (wattelijk
vermoeden)
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh
undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal
pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali
berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
b)
Persangkaan Hakim (rechtelijk
vermoeden)
Yaitu
suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain.
Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus
menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya.
Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama
bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan
terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah
dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
4.
Bukti Pengakuan
Pengakuan
sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175 HIR,
Pasal 313 RBg/176 HIR.
Ada beberapa
pendapat mengenai defenisi pengakuan :
a. Menurut A.
Pitlo,
“ pengakuan
adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia
mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan
pihak lawan. “[17]
b. Menurut S. M.
Amin,
“ pengakuan
adalah suatu pernyataan tegas oleh seorang di muka sidang pengadilan, yang
membenarkan seluruh dakwaan (dalil) lawan, atau hanya satu atau lebih daripada
satu hak-hak atau hubungan yang didakwakan (didalilkan), atau hanya salah satu
atau lebih daripada satu hal-hal yang didakwakan (didalilkan). “[18]
c. Menurut Sudikno
Mertokusumo,
“ pengakuan di muka hakim di
persidangan merupakan keterangan sepihak baik tertulis maupun lisan yang tegas
dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan yang
membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya yang mengakibatkan pemeriksaan lebih
lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. “[19]
Jadi, pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu
pihak dalam perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain. Dengan demikian, pengakuan
merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang
didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
5.
Bukti Sumpah
Alat bukti
sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155 sampai
dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR.
Walaupun
undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum memberikan
pengertiannya, yaitu antara lain :
a. Menurut A.
Pitlo,
“ Sumpah adalah
hal menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada Tuhan. “[20]
b. Menurut Sudikno
Mertokusumo,
“ Sumpah pada
umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada
waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa
daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang
tidak benar akan dihukum oleh-Nya. “[21]
c. Menurut M. H.
Tirtaamidjaja,
“ Sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan
khidmat, bahwa jika orang yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang
tidak benar, ia bersedia dikutuk Tuhan. “[22]
Dari pendapat ditas dapat disimpulkan bahwa sumpah adalah
suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan. Tujuan dari
sumpah adalah agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau
pernyataan itu menyampaikan yang benar dari yang sebenarnya, dan takut atas
murka Tuhan, apabila dia berbohong.
Alat bukti sumpah ada tiga macam :
1)
Sumpah
Pemutus (Decissoir Eed), yaitu sumpah yang diajukan oleh salah satu
pihak yang berperkara kepada lawannya. untuk membebani sumpah pemutus adalah
dari salah satu pihak yang berperkara dan dia pulalah yang menyusun rumusan
sumpahnya. Diatur dalam Pasal 183 RBg/156 HIR.
2)
Sumpah Penambah
atau Pelengkap (Suppletoir Eed), yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim
karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk menambah atau
melengkapi pembuktian peristiwa yang belum lengkap. Jadi, sumpah penambah hanya
dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara, baik
penggugat ataupun tergugat, bila sudah ada permulaan pembuktian, tetapi masih
belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain. Diatur dalam Pasal 182 RBg/155 HIR
ayat (1).
3)
Sumpah
Penaksir (Aestimatoire Eed),yaitu sumpah yang secara khusus diterapkan
untuk menentukan berapah jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat
oleh penggugat. Tujuan dari sumpah ini untuk menetapkan berapa jumlah ganti
rugi atau harga yang akan dikabulkan. Diatur dalam Pasal 155 HIR ayat (2).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Pembuktian adalah penyajian alat-alat
bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Dalam teori
pembuktian terdapat 3 teori yaitu teori pembuktian bebas, teori pembuktian
positif dan teori pembuktian negatif.
2.
Alat-alat bukti
yang sah menurut hukum diantaranya yaitu: alat bukti tulisan, alat bukti saksi,
alat bukti persaksian, alat bukti persangkaan dan alat bukti sumpah.
DAFTAR PUSTAKA
Aza, Pembuktian
dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010 dari http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.
Diakses 6 Mei
2015.
Bambang
Sugeng dan Sujayadi.
Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata. Jakarta : Kencana. 2011.
Harahap,
M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika. 2010.
Mertokusumo,
Sudikno. Hukum Acara Perdata
Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 2006.
Muljono,
Wahju. Toeri dan Prakatik
Peradilan Perdata Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, tt.
Pitlo, A. Pembuktian dan Daluwarsa (terj.). Jakarta : PT. Intermasa.1978.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek. Bandung : Alumni. 1983.
Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung : Penerbit Alumni. 1992.
Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata
untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung : CV Mandar Maju. 2005.
Subekti. Pokok-pokok Hukum
Perdata. Jakarta : PT Intermasa. 2003.
Syahrani, Riduan. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2004.
[1] Wahju Muljono, Toeri dan
Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, tt.), 105.
[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum
Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006), 134.
[5] Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum
Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004), 83.
[6] Hari Sasangka, Hukum
Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung : CV Mandar Maju, 2005), 23.
[10]
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi
Perkara Perdata, (Jakarta:
Kencana, 2011),
66.
[15]
Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010
dari http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.
Diakses 6 Mei 2015.
[16] Retnowulan Sutantio dan Iskandar
Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Alumni, 1983), 68.
[18] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam
Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung : CV Mandar Maju, 2005), 102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar