Label

Kamis, 09 April 2015

HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Pemerintahan itu meliputi segala sesuatu mengenai pemerintahan,yakni seluruh aktivitas pemerintah yang tidak termasuk pengundangan dan peradilan.
Hukum Administrasi Negara/Hukum Tata Pemerintahan itu mempunyai obyek:
1.      Sebagian hukum mengenai hubungan hukum antara alat perlengkapan negara yang satu dengan alat perlengkapan negara yang lain.
2.      Sebagian aturan hukum mengenai hubungan hukum,antara perlengkapan negara dengan perseorangan privat.
Maka pengertian Hukum Administrasi Negara yang luas terdiri atas 3 unsur yaitu:

1.      Hukum Tata Pemerintahan, yakni Hukum Eksekutif atau Hukum Tata Pelaksanaan Undang-undang; dengan perkataan lain Hukum Tata Pemerintahan ialah hukum mengenai aktivitas-aktivitas kekuasaan eksekutif(kekuasaan untuk melaksanakan Undang-undang).
2.      Hukum Administrasi Negara dalam arti sempit, yakni hukum tata pengurusan rumah tangga negara
3.      Hukum Tata Usaha Negara, yakni hukum mengenai surat-menyurat, rahasia dinas dan jabatan, kearsipan dan dokumentasi, pelaporan dan statistik, tatacara penyimpanan berit acara, pencatatan sipil, pencatatan nikah, talak dan rujuk, publikasi, penerbitan-penerbitan negara.
Dari uraian-uraian tentang hukum administrasi negara/ hukum tata pemerintahan/ hukum tata usaha negara diatas, agar lebih mengetahui tentang sejarah HAN, desentralisasi dan dekonsentrasi, kedudukan dan kewenangan lembaga-lembaga pemerintahan daerah serta pemilihan pemerintah daerah dan sebagai tugas penulis mengambil judul makalah tentang “Hubungan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah”.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan  sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah hukum administrasi negara?
2.      Apakah desentralisasi dan dekosentrasi?
3.      Bagaimana Kedudukan dan Kewenangan Lembaga-lembaga Pemerintahan Daerah?
4.      Bagaimana Pemilihan Pemerintah Daerah?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut :
1.      Mendeskripsikan tentang sejarah hukum administrasi negara.
2.      Mendeskripsikan tentang desentralisasi dan dekonsentrasi.
3.      Mendeskripsikan tentang kedudukan dan kewenangan lembaga-lembaga pemerintahan daerah.
4.      Mendeskripsikan tentang pemilihan pemerintahan daerah.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Hukum Administrasi Negara
Pada awalnya, Penggunaan istilah Hukum Administrasi Negara (HAN) sedikit banyak dipengaruhi oleh Keputusan/Kesepakatan pengasuh mata kuliah Fakultas Hukum pada pertemuan di Cibulan tanggal 26-28 Maret 1973. Sebelum itu, dalam kurikulum minimal tahun 1972, istilah yang digunakan dalam SK Menteri P dan K tanggal 30 Desember 1972 No. 0198/U/1972 adalah Hukum Tata Pemerintahan. Meskipun istilah Hukum Tata Pemerintahan tercantum dalam SK tersebut diatas, namun dalam kenyataan penggunaan istilah itu oleh beberapa fakultas hukum terutama fakultas hukum universitas negeri (yang kemudian diikuti juga oleh berbagai fakultas hukum universitas swasta) tidak seragam. Istilah-istilah yang beranekaragam itu adalah: Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Administrasi Negara.
Dalam arti sempit, administrasi negara adalah kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintahan. karena hukum administrasi negara sangat berkaitan erat dengan pemerintahan. Dalam arti luas, administrasi negara adalah kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan politiknya.
Pada tanggal 29 Desember tahun 1986 telah disahkan dan diundangkan Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lahirnya UU ini telah memberikan penghargaan tersendiri bagi hukum administrasi. Namum pada dasarnya pengaruh konsep negara kesejahteraan di Indonesia dapat dilihat sejak zaman Hindia Belanda pada tahun 1870, Hukum Administrasi Negara juga telah ada. Hindia Belanda saat itu hanya mempunyai 4 departemen, yaitu : departemen dalam negeri, departemen penajaran, departemen pekerjaan umum, dan depertemen keuangan.
Menurut Bintarto Tjokromidjojo,[1] sebelum tahun 1945 ketika bangsa Indonesia hidup dalam penjajahan, bangsa Indonesia tidak diberi kesempatan untuk ikut serta dalam Administrasi Negara. Pada masa penyusunan naskah UUD 1945 Muhammad Hatta mengembangkan konsep negara kesejahteraan dengan istilah negara pengurus untuk merumuskan pasal 33 UUD 1945, yaitu : tentang demokrasi ekonomi.
Pada masa sekarang kegiatan negara pengurus tersebut, seperti pendidikan, kesehatan pembangunan perekonomian dan sebagainya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta, seperti : pembangunan rumah sakit, pembangunan sekolah dan sebagainya. Perkembagan negara kesejahteraan sebenarnya juga terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu :
-          Hak mengembangkan diri, pasal 28C ayat 1
-          Hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, pasal 28C ayat 1
-          Hak untuk memajukan diri dan memperjuangkan secara kolektif, pasal 28C ayat 2
-          Hak untuk mendapat pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yand adil serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adildan layak dalam hubungan kerja, pasal 28D ayat 1
-          Hak untuk bekerja dan memperoleh imbalan yang adil dalam hubungan kerja, pasal 28D ayat 2
-          Hak status kewarganegaraan, pasal 28D ayat 4. 
Hak-hak sosial tersebut dapat terlaksana apabila para aparatur negara memiliki komitmen dan kesungguhan untuk melaksaknanya.

B.     Desentralisasi dan Dekonsentrasi
1.      Desentralisasi
Pengertian desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 1 angka 7 yang menyebutkan bahwa “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Desentralisasi menurut C.S.T. Kansil adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah tingkat yang lebih tinggi kepada Pemerintah Daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan yang diserahkan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai politik kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaannya maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri.[2]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa desentralisasi dipahami bahwa otonomi daerah merupakan bagian yang melekat dari implementasi sistem desentralisasi. Dalam suatu negara yang menganut kebijakan desentralisasi, ditandai dengan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan yang sebelumnya menjadi kewenangan pusat untuk menjadi kewenangan daerah.
Tujuan desentralisasi ialah agar penyelenggaraan pemerintah di daerah lebih disesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing. Dalam rangka desentralisasi dibentuk negara otonom. Dalam rangka desentralisasi daerah otonom berada diluar hierarki organisasi pemerintahan pusat. Desentralisasi menunjukkan pola hubungan kewenangan antara organisasi dan bukan pula hubungan kewenangan intraorganisasi.[3]
Adapun proses penyerahan wewenang kepada daerah dalam UU Pemerintahan Daerah yang pernah berlaku dapat dilakukan melalui dua cara :
1.      Penyerahan penuh, artinya baik tentang asas-asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan kewajibannya (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonom).
2.      Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya mengenai caranya menjalankan saja, sedangkan asas-asasnya (prinsip-prinsipnya) ditetapkan oleh pemerintah pusat sendiri (hak medebewind).
Dengan terbentuknya daerah otonom dan terjadinya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah otonom, tidak berarti bahwa daerah otonom sudah terlepas dari pengawasan Pemerintah pusat. Pemrintah pusat tetap memiliki akses untuk melakukan pengawasan dalam pelaksanaan pemerintah daerah. Pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan, agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan.
2.   Dekonsentrasi
Pengertian dekonsentrasi dalam UU No. 32 Tahun 2004 terdapat pada Pasal 1 angka 8 yang berbunyi “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Pengertian dekonsentrasi menurut para ahli adalah sebagai berikut. Menurut Philipus M. Hadjon dekonsentrasi adalah penugasan kepada pejabat atau dinas-dinas yang mempunyai hubungan hierarki dalam suatu badan pemerintahan untuk mengurus tugas-tugas tertentu yang disertai hak untuk mengatur dan membuat keputusan.[4] Adapun E.Utrecht menyebut dekonsentrasi sebagai penyerahan kekuasaan membuat peraturan kepada alat-alat administrasi negara pusat yang lebih di bawah (daripada pemerintah).[5]
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan kekuasaan secara vertikal di wilayah tertentu seperti pemerintah kepada gubernur.
Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi, yaitu :
a.       Terpeliharanya keutuhan NKRI.
b.      Terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar daerah.
c.       Terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan di daerah.
d.      Teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya daerah.
e.       Tercapainya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, serta pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat.
f.       Tercapainya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi NKRI.[6]
Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.[7]
Penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam Pasal  8 Peraturan Pemerintahan Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (PP 7/2008), meliputi:
a.       Pelimpahan urusan pemerintahan.
b.      Tata cara pelimpahan.
c.       Tata cara penyelenggaraan.
d.      Tata cara penarikan pelimpahan.
Pengelolaan dana dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi :
a.       Prinsip pendanaan.
b.      Perencanaan dan penganggaran.
c.       Penyaluran dan pelaksanaan.
d.      Pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan dekonsentrasi.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a.       Penyelenggaraan dekonsentrasi.
b.      Penyelenggaraan dana dekonsentrasi.

C.    Kedudukan dan Kewenangan Lembaga-lembaga Pemerintahan Daerah
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD.[8]
1.      Kepala Daerah
Pasal 3 ayat (2) UU Pemda menetapkan, Pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut wali kota.
-          Kedudukan Kepala Daerah
Kedudukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang peran penting dalam menentukan suatu keputusan publik. Agar keputusan publik di dukung oleh masyarakat dan berpihak kepada kepentingan publik maka :
a.       Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah harus dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga Kepala Daerah terpilih memiliki dukungan yang luas dari rakyat.
b.      Perumusan kebijakan publik disusun secara partisipatif dan transparan.
c.       Memiliki akuntabilitas publik yang jelas.
d.      Adanya pengawasan dari masyarakat dan lembaga perwakilan rakyat.[9]
-          Kewenangan Kepala Daerah[10]
a.       memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b.      mengajukan rancangan Perda;
c.       menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d.      menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada
DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e.       mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f.       mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g.      melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.      DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
-          Kedudukan DPRD
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.[11] DPRD memiliki fungsi:[12]
1.      legislasi yang diwujudkan dalam membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah.
2.      anggaran yang diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan APBD bersama pemerintah daerah.
3.      pengawasan yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, perda, keputusan kepala daerah dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
-          Kewenangan DPRD
a.       membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;
b.      membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;
c.       melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
d.      mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;
e.       memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
f.       memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g.      memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
h.      meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i.        membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j.        melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
k.      memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.

D.    Pemilihan Pemerintah Daerah
Pemilihan kepala daerah merujuk pada UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (4) menyatakan, “Gubernur, Bupati, Wali Kota masing-masing sebagai kepala daerah kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratids”. Ketentuan ini selanjutnya dituangkan dalam Pasal 56 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”
Sebagaimana telah dijelaskan tentang pemilihan kepala daerah dalam Pasal 57 UU Pemda:
(1)   Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD.
(2)   Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.
(3)   Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
(4)   Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.
(5)   Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD.
(6)   Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang lainnya.
(7)   Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.[13]












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
-          sejarah hukum administrasi negara
Pada awalnya, Penggunaan istilah Hukum Administrasi Negara (HAN) sedikit banyak dipengaruhi oleh Keputusan/Kesepakatan pengasuh mata kuliah Fakultas Hukum pada pertemuan di Cibulan tanggal 26-28 Maret 1973. Sebelum itu, dalam kurikulum minimal tahun 1972, istilah yang digunakan dalam SK Menteri P dan K tanggal 30 Desember 1972 No. 0198/U/1972 adalah Hukum Tata Pemerintahan. Meskipun istilah Hukum Tata Pemerintahan tercantum dalam SK tersebut diatas, namun dalam kenyataan penggunaan istilah itu oleh beberapa fakultas hukum terutama fakultas hukum universitas negeri (yang kemudian diikuti juga oleh berbagai fakultas hukum universitas swasta) tidak seragam. Istilah-istilah yang beranekaragam itu adalah: Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Administrasi Negara.
Pada tanggal 29 Desember tahun 1986 telah disahkan dan diundangkan Undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lahirnya UU ini telah memberikan penghargaan tersendiri bagi hukum administrasi.
-          desentralisasi dan dekosentrasi
Desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 1 angka 7 yang menyebutkan bahwa “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Sedangkan pengertian dekonsentrasi dalam UU No. 32 Tahun 2004 terdapat pada Pasal 1 angka 8 yang berbunyi “Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
-          Kedudukan dan Kewenangan Lembaga-lembaga Pemerintahan Daerah
Kedudukan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang peran penting dalam menentukan suatu keputusan publik. Agar keputusan publik di dukung oleh masyarakat dan berpihak kepada kepentingan publik. Kewenangan Kepala Daerah adalah memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD, mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah, dan lain-lain.
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan DPRD adalah membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah, memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah, dll
-          Pemilihan Pemerintah Daerah
Pemilihan kepala daerah merujuk pada UUD 1945 pada Pasal 18 ayat (4) menyatakan, “Gubernur, Bupati, Wali Kota masing-masing sebagai kepala daerah kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratids”. Ketentuan ini selanjutnya dituangkan dalam Pasal 56 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan: “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”






DAFTAR PUSTAKA

Tjokromidjojo, Bintarto. 1965. Perkembangan Ilmu Administrasi Negara. Jakarta : Departemen Urusan Research Nasional R.I
C.S.T. Kansil. 2002. Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum Administrasi Negara. Jakarta : Sinar Grafika
E.Utrecht. 1993. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia. Yogyakarta : Liberty
Juniarto. Perkembangan Pemerintahan Lokal. Jakarta : Melton Putra
M. hadjon, Philipus. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta : Gajah Mada University press
Triwulan Tutik, Titik. 2011. Hukum TUN dan Hukum Acara Peradilan TUN. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
                                                                    




[1] Bintarto Tjokromidjojo, Perkembangan Ilmu Administrasi Negara. (Jakarta : Departemen Urusan Research Nasional R.I., 1965), hal 16.
[2] C.S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia: Hukum Administrasi Negara, (Jakarta:Sinar Grafika, 2002), hal.3.
[3] Juniarto, Perkembangan Pemerintahan Lokal, (Jakarta:Melton Putra) hal.13.
[4] Philipus M. hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta:Gajah Mada University press, 1993) hal. 112.
[5] E.Utrecht, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, (Yogyakarta:Liberty, 1993), hal.120.
[6] Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
[7] Pasal 8 Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
[8] Pasal 1 UU pemda
[10] Pasal 25 UU Pemda
[11] Pasal 40 UU Pemda
[12] Titik Triwulan Tutik, Hukum TUN dan Hukum Acara Peradilan TUN, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), Hal.245.
[13] Pasal 57 UU Pemda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar