Label

Senin, 06 April 2015

PEMBUKTIAN DAN MACAM-MACAM ALAT BUKTI

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam menyelesaikan sebuah perkara perdata maupun pidana, pihak yang bertugas menyelesaikan sengketa haruslah melakukan pembuktian untuk menerangi dan menjelaskan secara jelas tentang duduk perkaranya. Pembuktian ini baru ada apabila terjadi bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui peradilan.
Selisih kepentingan dari para pihak, penggugat dan tergugat. kepentingan yang diselesaikan melalui persidangan itulah yang kemudian disebut perkara. Perkara yang diajukan ke pengadilan.[1] Pembuktian merupakan cara untuk menunjukkan kejelasan perkara kepada Hakim supaya dapat dinilai apakah masalah yang dialami penggugat atau korban dapat ditindak secara hukum. Oleh karenanya, pembuktian merupakan prosedur yang harus dijalani karena merupakan hal penting dalam menerapkan hukum materil.

Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 B.W. bahwa “Barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-peristiwa itu; sebaliknya barang siapa yang mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.” Misalnya, jika seorang menggugat orang lain supaya orang ini dihukum menyerahkan sebidang tanah, karena benda ini termasuk harta peninggalan ayahnya, tetapi pendirian ini disangkal oleh tergugat, maka orang yang menggugat itu diwajibkan membuktikan bahwa ia adalah ahliwaris dari si meninggal dan tanah tersebut betul kepunyaan si meninggal itu. Jika ia telah berhasil membuktikan hal-hal tersebut dan pihak tergugat masih juga membantah haknya karena katanya ia telah membeli tanah tersebut secara sah, maka tergugat ini diwajibkan membuktikan adanya jual beli itu.[2]
Oleh sebab itu, pihak yang berperkara haruslah memberikan bukti yang kuat sesuai dengan masalah yang ada apakah perkara yang dialami. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Begitu pentingnya sebuah pembukian maka dalam makalah ini kami akan membahas mengenai pembuktian dan macam-macam alat bukti.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan  sebagai berikut :
1.      Apa definisi dari pembuktian?
2.      Apa saja macam-macam alat bukti?

C.   Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa maksud dan tujuan sebagai berikut :
1.      Mendeskripsikan tentang pembuktian.
2.      Mendeskripsikan tentang macam-macam alat bukti.
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pembuktian
Secara etimologi pembuktian berarti proses/cara, perbuatan membuktikan atau usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan.
Para ahli hukum memiliki perbedaan pendapat tentang pembuktian ini, sebagaimana yang dikemukan para ahli sebagai berikut :
Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.[3]
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengandung beberapa pengertian:
1.      Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2.      Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
a)       kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
b)       kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
3.      Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana (Presumption of Innocence), kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Kesamaan ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada pengalaman dan pengamatan.[4]
 Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan[5]
Hal ini diperkuat dengan perintah hukum yang termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya yang diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”
Terdapat 3 (tiga) buah teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak :
1.      Teori pembuktian bebas
Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan oleh ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapapun.[6]
2.   Teori pembuktian negatif
Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. (Pasal 306 RBg/169 HIR, Pasal 1905 KUHPerdata).[7]
Pasal 306 RBg/169 HIR : “ Keterangan seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum. “
Pasal 1905 KUHPerdata : “ Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya. “
3.   Teori pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. (Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata).[8]
Pasal 285 RBg/165 HIR : “ Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
Pasal 1870 KUHPerdata : “ Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. “

B. Macam-macam Alat Bukti
Menurut M. Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.[9]
Alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR adalah sebagai berikut:[10]
1.      Tulisan/Surat
2.      Saksi-saksi
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
Penjelasan mengenai alat bukti Hukum Acara Perdata yang tercantum dalam Pasal 1866 B.W., sebagai berikut:
1.      Alat Bukti Tertulis (Surat)
Dalam hukum acara perdata alat bukti tulisan atau surat diatur dalam Pasal 164 RBg/138 HIR, Pasal 285 RBg sampai dengan Pasal 305 RBg, Pasal 165 HIR, Pasal 167 HIR, Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal 1894 KUHPerdata.
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian alat bukti tulisan, antara lain:
a.       Menurut A. Pitlo,
“ alat pembuktian dengan bentuk tertulis yang disebut dengan surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran. “[11]
b.      Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. “[12]
c.       Menurut H. Riduan Syahrani,
“ alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dapat dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. “[13]
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa alat bukti tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang membuatnya. Maka surat yang dijadikan alat pembuktian ditekankan pada adanya tanda-tanda bacaan yang menyatakan buah pikiran. Jadi, walaupun ada sesuatu benda yang memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak menyatakan buah pikiran atau isi hati, maka hal tersebut tidak termasuk sebagai alat bukti tertulis atau surat.
Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Jadi dalam hukum pembuktian, alat bukti tulisan terdiri dari :
1)      Akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.
a)      Akta otentik
Pasal 285 RBg/165 HIR menyebutkan bahwa : “akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang- undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. “
b)      Akta di bawah tangan
Pasal 286 ayat (1) RBg, dinyatakan : “dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum. “
2)      Tulisan bukan akta ialah setiap tulisan yang tidak sengaja dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan/atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya. Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari.
2.      Alat Bukti Saksi
Pembuktian dengan saksi diatur dalam Pasal 306 RBg/169 HIR dan Pasal 1905 KUHPerdata. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[14] Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Syarat-syarat alat bukti saksi adalah sebagai berikut:[15]
a)      Orang yang Cakap
b)      Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
c)      Diperiksa Satu Persatu
d)      Mengucapkan Sumpah
e)      Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
f)       Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
g)      Saling Persesuaian
3.      Bukti Persangkaan
Alat bukti persangkaan diatur dalam Pasal 310 RBg/173 HIR. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, atau peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Jika yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim maka persangkaan tersebut dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan jika yang menarik kesimpulan tersebut undang-undang maka dinamakan persangkaan undang-undang.[16]
Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut :
a)      Persangkaan Undang-undang (wattelijk vermoeden)
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
b)      Persangkaan Hakim (rechtelijk vermoeden)
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
4.      Bukti Pengakuan
Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 311 RBg/174 HIR, Pasal 312 RBg/175 HIR, Pasal 313 RBg/176 HIR.
Ada beberapa pendapat mengenai defenisi pengakuan :
a.       Menurut A. Pitlo,
“ pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan pihak lawan. “[17]
b.      Menurut S. M. Amin,
“ pengakuan adalah suatu pernyataan tegas oleh seorang di muka sidang pengadilan, yang membenarkan seluruh dakwaan (dalil) lawan, atau hanya satu atau lebih daripada satu hak-hak atau hubungan yang didakwakan (didalilkan), atau hanya salah satu atau lebih daripada satu hal-hal yang didakwakan (didalilkan). “[18]
c.       Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ pengakuan di muka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. “[19]
Jadi, pengakuan adalah suatu keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak dalam perkara, baik secara lisan atau tertulis yang bersifat membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan atau didalilkan oleh pihak lain. Dengan demikian, pengakuan merupakan suatu pembenaran terhadap peristiwa, hak atau hubungan hukum yang didalilkan oleh lawan baik sebagian atau seluruhnya.
5.      Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 RBg/Pasal 155 sampai dengan Pasal 158 HIR, Pasal 314 RBg/Pasal 177 HIR.
Walaupun undang-undang tidak menjelaskan arti sumpah, para ahli hukum memberikan pengertiannya, yaitu antara lain :
a.       Menurut A. Pitlo,
“ Sumpah adalah hal menguatkan suatu keterangan dengan berseru kepada Tuhan. “[20]
b.      Menurut Sudikno Mertokusumo,
“ Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. “[21]
c.       Menurut M. H. Tirtaamidjaja,
“ Sumpah adalah suatu keterangan yang diucapkan dengan khidmat, bahwa jika orang yang mengangkat sumpah itu memberi keterangan yang tidak benar, ia bersedia dikutuk Tuhan. “[22]
Dari pendapat ditas dapat disimpulkan bahwa sumpah adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan. Tujuan dari sumpah adalah agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu menyampaikan yang benar dari yang sebenarnya, dan takut atas murka Tuhan, apabila dia berbohong.
Alat bukti sumpah ada tiga macam :
1)      Sumpah Pemutus (Decissoir Eed), yaitu sumpah yang diajukan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada lawannya. untuk membebani sumpah pemutus adalah dari salah satu pihak yang berperkara dan dia pulalah yang menyusun rumusan sumpahnya. Diatur dalam Pasal 183 RBg/156 HIR.
2)      Sumpah Penambah atau Pelengkap (Suppletoir Eed), yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk menambah atau melengkapi pembuktian peristiwa yang belum lengkap. Jadi, sumpah penambah hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara, baik penggugat ataupun tergugat, bila sudah ada permulaan pembuktian, tetapi masih belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain. Diatur dalam Pasal 182 RBg/155 HIR ayat (1).
3)      Sumpah Penaksir (Aestimatoire Eed),yaitu sumpah yang secara khusus diterapkan untuk menentukan berapah jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat. Tujuan dari sumpah ini untuk menetapkan berapa jumlah ganti rugi atau harga yang akan dikabulkan. Diatur dalam Pasal 155 HIR ayat (2).

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Dalam teori pembuktian terdapat 3 teori yaitu teori pembuktian bebas, teori pembuktian positif dan teori pembuktian negatif.
2.      Alat-alat bukti yang sah menurut hukum diantaranya yaitu: alat bukti tulisan, alat bukti saksi, alat bukti persaksian, alat bukti persangkaan dan alat bukti sumpah.
    
DAFTAR PUSTAKA

Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010 dari  http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html. Diakses 6 Mei 2015.
Bambang Sugeng dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata. Jakarta : Kencana. 2011.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. Jakarta : Sinar Grafika. 2010.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. 2006.
Muljono, Wahju. Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, tt.
Pitlo, A. Pembuktian dan Daluwarsa (terj.). Jakarta : PT. Intermasa.1978.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung : Alumni. 1983.
Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung : Penerbit Alumni. 1992. 
Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung : CV Mandar Maju. 2005.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT Intermasa. 2003.
Syahrani, Riduan. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2004.



[1] Wahju Muljono, Toeri dan Prakatik Peradilan Perdata Di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, tt.), 105.
[2] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 2003) 177.
[3] Subekti, Pokok-pokok Hukum…, 176.
[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006), 134.
[5] Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), 83. 
[6] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung : CV Mandar Maju, 2005), 23.
[7] Ibid,. 23.
[8] Ibid.
[9] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 554.
[10] Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Jakarta: Kencana, 2011), 66.
[11] A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa ( terj. ), (Jakarta : PT. Intermasa, 1978), 51. 
[12] Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung : Penerbit Alumni, 1992), 36. 
[13]Riduan Syahrani, Buku Materi , hlm. 83   
[14] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara…, 166.
[15] Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel ini diposkan 9 Desember 2010 dari  http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html. Diakses 6 Mei 2015.
[16] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Alumni, 1983), 68.
[17] A. Pitlo., Pembuktian dan…, 150.
[18] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa dan Praktisi, (Bandung : CV Mandar Maju, 2005), 102.
[19] Ibid.
[20] A. Pitlo., Pembuktian dan…, 172
[21] Teguh Samudera, Hukum Pembuktian …, 95
[22] Hari Sasangka, Hukum Pembuktian …, 113.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar